//
you're reading...
Sejarah

PENGARUH ACEH DALAM GELAR SULTAN-SULTAN BIMA

Bagi para peminat sejarah Bima,sesungguhnya istilah Zhilullaahi fil ‘Alamsudah tidaklah begitu asing, karena istilah tersebut merupakan gelar tambahanyang dicantumkan pada nama Sultan. Secara etimologis, Zhilullaahi fil ‘Alamberarti Bayangan Allah di muka Bumi. Barangkali jika diperluas secaratermonologis akan berarti; bahwa Raja-raja Bima menjadi cerminan daripelaksanaan sifat dan asma’ Allah dalam memimpin masyarakatnya. Mengupasistilah tersebut tidak akan pernah lepas juga dari pembahasan tentang corak dangerak Islam di masa-masa Kesultanan. Di sisi lain, belum begitu banyak catatanatau penjelasan lebih lanjut dari para sejarawan tentang asal mula Islam ditanah Bima. Kalaupun ada, semuanya selalu bertaut pada tema sentral tentangmasuk Islamnya Raja Bima La Kai yang berhasil melawan Salisi. Dan sumber-sumberresmi pun susah untuk kita cari. Barangkali Zollinger-lah yang mungkin sedikitberbeda pandangan dengan kebanyakan sejarawan, termasuk berbeda pula dengannaskah-naskah Melayu tentang Bima. Zollinger dalam 1850, ‘Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa, en naar eenige plaatsen op Celebes, Saleijer en Floris, gedurende de maanden Mei tot December. 1847‘, menyebutkan bahwa Islamisasi Bimaberlangsung pada tahun 1450-1540, lebih maju dua abad dari catatan resmi Bo’ yang kitatahu yakni sekitar tahun 1621-1640 M. Tulisan Zollinger pun menjadi referensi sejarawanterkemuka dunia Sir Thomas Walker Arnold dalam The Preaching of Islam-nya untuksedikit menggambarkan proses masuknya Islam di Bima.
 
Dalam daftar resmi Bo’ SangajiKai tentang nama-nama Sultan Bima, penyebutan istilah Syah baru muncul pada Sultanketiga  yaitu Sultan Nuruddin AbubakarAli Syah. Dan terakhir pada sultan ke sepuluh yaitu Sultan Ismail MuhammadSyah. Dari 15 Sultan yang memerintah Kerajaan Bima sejak 1621 – 2001 M(termasuk Alm. Sultan H. Abdul Kahir), hanya terdapat delapan orang Sultan yangmendapat gelar tersebut. Entah apa penyebabnya, tetapi barangkali iniberdasarkan catatan resmi yang ada dalam naskah Bo’ Sangaji Kai yang disesuaikandengan catatan pengakuan pemerintah Belanda terhadap Sultan-sultan tersebut.Raja-raja Bima yang digelari dengan Syah Zilullaahi Fil Alam itu berurutansebagai berikut :
Nuruddin Abubakar AliSyah (1682 – 1687);
Jamaluddin Ali Syah (1687– 1696);
Hasanuddin MuhammadAli Syah (1696 – 1731);
Alauddin Muhammad Syah(1731 – 1748)
Kamalat Syah – Periode(1748 – 1751)
Abdul Kadim MuhammadSyah (1751 – 1773);
Abdul Hamid MuhammadSyah (1773 – 1817)
Ismail Muhammad Syah (1817 – 1854)
Nama-nama ini saya kutip langsung dari Daftar Nama Sultan yang ada dalamBo’ Sangaji Kai (Henry Chambert-Loir & St. Maryam Salahuddin). Sejenak sayamengajak sahabat-sahabat untuk memperhatikan lebih teliti pencantuman kata Muhammad Syah di belakang nama asli para Sultan, meskipun untuk SultanNuruddin dan Sultan Jamaluddin menggunakan tambahan Abubakar Ali Syah danMuhammad Ali Syah. Tetapi angle kupasan kita adalah munculnya istilah Syah itusendiri.
Dalam beberapa naskah suratnya kepada Belanda, Sultan Abdul Muhammadmenggunakan nama lengkap Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah Zilullaahi fil ‘Alam.Bagaimanakah asal muasal istilah ini dalam kesultanan Bima, dan kapankahistilah ini mulai digunakan oleh para Raja.
Pada lima dasawarsa pertama abad ke 16, kita mengenal beberapa nama Sultandi Malaka antara lain Sultan Mahmud Syah, Sultan Mughayat Syah dan SultanMuzafar Syah. Bahkan dalam catatan sejarah Pattani, setelah Sultan Mansur Syahmenduduki takhta kerajaan Melayu Patani, dia meninggalkan dua orang putra, RajaBahadur Syah dan Raja Bima, anak yang diperolehnya dari selir. Dalam sejarah di Aceh Besar, dikenal tentang kisah masuk Islamnya RajaLamuri (Marcopolo menyebutnya Lambri), adalah Teungku Abdullah Lampeuneuen yangmenyiarkan dakwah di sana pada sekitar abad ke 16 M, baginda raja Lamuri kemudiandiberi gelar Sultan Alaidin Johansyah Zhilullah fil’Alam. Untuk sekedarperbandingan juga, berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaanAceh Darussalam:

1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Saya yakin, ketika sahabat-sahabat membaca urutan nama-nama Sultantersebut, sepintas akan berpikir ada kesamaan dengan nama-nama Sultan Bima.Perbedaan yang sangat esensial ialah angka tahun periode kesultanan itudimulai. Kalau Bima memulainya pada tahun 1640, atau pencantuman gelar Syah itupada tahun 1682, maka di Aceh itu sudah dimulai pada tahun 1496, atauberselisih dua abad. Ini wajar saja, karena kontak Islam saat itu menempuhjalur perdagangan, dan rutenya mengikuti rute pelayaran masa itu di mana Malakaadalah pintu gerbang nusantara.
Membicarakan pencantuman gelar Syah dan Zilullah fil ‘Alam dalam nama-namaSultan Bima tentu saja tidak bisa dipisahkan dari tema kontak bilateral antaraMalaka (Aceh) dan Bima. Seperti yang pernah saya posting sebelumnya, bahwa padatahun 1515 Tome Pires sudah mencatat tentang kontak dagang Bima dengan  Malaka bahkan sampai ke Siam (Pattani),meskipun Pires mencatat bahwa Raja Bima adalah seorang pemimpin yang masih kafirdan memiliki banyak candi (pharaos). Setidaknya ini menggambarkan bahwasebahagian pelaut dan pedagang regional Bima sudah mengenal Islam lebih awal,dan memiliki hubungan khusus dengan beberapa pedagang penting di Malaka.
Dalam naskah Melayu Bo’ Sangaji Kai yang memuat catatan Belanda tentangpengakuan legitimasi Raja Bima, istilah Syah tidak muncul pada nama AbdulKahir, Abil Khair Sirajuddin maupun Nuruddin. Pada masa Sultan-sultan ini,kontak diplomatik Bima lebih dominan berpatron ke Gowa, karena selain merujukawal mula Kesultanan terbentuk, juga terdapat transmisi genetik yang dibangunsejak Abdul Kahir mempersunting Daeng Melu (ipar Sultan Alauddin Goa). Sehinggapada masa ini memang istilah Syah belum digunakan dalam struktur Hadatkesultanan Bima.
Saya menduga, pencantuman istilah Syah dalam tradisi Sultan Bima adalahimbas dari peralihan genetik Sultan pada periode kepemimpinan Sultanah KamalatSyah. Pada saat inilah Kerajaan Bima mulai menggeser orientasi dan patronasenyake Malaka (Aceh). Kebijakan ini muncul pada sekira periode pemerintahan SultanAbdul Qadim. Seperti kita ketahui, rata-rata Sultan Bima dilantik pada usiabelia (belum mumayyiz), secara otomatis Wazir (perdana menteri) mengendalikanpemerintahan bersama majelis Sara yang ada. Nah, tingkat komunikasi politiklintas Kesultanan di kala itu sudah mulai masuk pada masa penyatuan visipenyeragaman hukum. Ini suka atau tidak suka harus diikuti pula oleh KerajaanBima sebagai satu dari sekian banyak Kesultanan yang berdaulat di nusantara.Ekspansi Khilafah Ottoman sampai ke nusantara pada pertengahan abad ke 16 juga bertujuanuntuk mengimbangi penetrasi bangsa-bangsa Eropa dalam memonopoli perdaganganrempah-rempah. Sebagai satu-satunya khilafah Islam yang disegani di dunia, makaTurki mendesak seluruh poros kerajaan Islam untuk bersatu di bawah panjiImperium Utsmaniyyah, dan Aceh (Malaka) dipercayai untuk memimpinkesultanan-kesultanan lain di Indonesia.
Pada masa Abdul Qadim ini pulalah, Bima mulai mengurangi porsi hubungandengan Gowa, meskipun secara kebudayaan Bima tidak bisa melepaskan Gowa begitusaja. Dan Aceh kemudian menyebarkan delegasi-delegasi resminya ke seluruhkerajaan di Nusantara untuk menggalang persaudaraan sesama agama. Melaluikontak-kontak inilah akhirnya konstitusi Islam yang sah diterapkan di Malakajuga disodorkan pada seluruh kerajaan Islam di nusantara. Kesultanan Bima yangsedang berada dalam tekanan Belanda pasca pelengseran Komalat Syah tentumembutuhkan dukungan politik kuat untuk meneguhkan sikapnya di hadapan Belanda,dan Malaka menjadi jaminan baru bagi kesultanan Bima karena kedekatannya denganKhilafah Utsmaniyyah secara langsung.
Sejak masa inilah hukum-hukum Islam dalam kesultanan Bima dikodifikasikembali, termasuk adopsi banyak istilah dalam tradisi istana. Maka kata-kata Muhammad Syah Zhilullaahi fil ‘Alam pundilekatkan pada nama Sultan, untuk menunjukkan identitas politik sertapenegasan dari adanya perlindungan Turki yang mem-back up Bima secara langsung.Jadi istilah ini adalah buah dari kedekatan diplomatik dan kesamaan konstitusiantara Aceh dan Bima. Selanjutnya, para juru tulis kesultanan mulai menggunakan label ini padanama Sultan Abdul Qadim,penulisan ini menjadi standar pencantuman nama resmidalam kerajaan. Tidak hanya itu saja, jika memperhatikan beberapa surat SultanAbdul Hamid misalnya, penggunaan istilah-istilah Arab dalam suratnya seolahmengisyaratkan bahwa di Bima terdapat beberapa juru tulis khusus yang sudahmahir menulis surat-surat Arab Melayu. Bukan hanya label bagi Sultan yangdiadopsi mentah-mentah oleh para administratur kerajaan waktu itu, tetapi jugapencantuman sebutan Arab bagi perdana Menteri yakni Wazir Al Mu’azzam (WazirAgung). Frase-frase seperti Sultan, Wazir, Syah dan Al Haq sesungguhnyamerupakan ciri dari Al Qanun yang dibuat oleh Sultan Sulaiman The Magnificientdari Ottoman. Kerajaan Aceh sendiri, dan hampir semua kerajaan Islam di wilayahPattani dan Malaka benar-benar menerapkan hukum kerajaan yang diserap secaralangsung dari Khilafah Utsmaniyyah Turki.
Kalaupun kemudian istilah Syah ini disematkan pada beberapa Sultan sebelumAbdul Qadim, maka itu adalah kepentingan Kerajaan melalui para juru tulis untukmelakukan penyeragaman nama Sultan dalam silsilah resmi kerajaan. SultanSirajuddin, Nuruddin, Jamaluddin, Hasanuddin dan Alauddin adalah generasiSultan yang membangun kerajaan Bima dengan berpatronase pada Gowa, baik secarapolitik maupun administrasi kesultanan, pada masa mereka ini kontak diplomatikdengan Aceh belumlah seintents di era Abdul Qadim, karena era 1640 – 1740penetrasi dan determinasi Belanda ke Bima masih menggunakan tangan Gowa.
Kesimpulannya; Gelar Muhammad Syah Zhilullah fil ‘Alam diserap langsung dariKesultanan Aceh atas regulasi penyeragaman konstitusi Daulah Islamiyyah olehSultan Abdul Hamid I dari Khilafah Utsmaniyyah Turki. Gelar itu mulai digunakansecara resmi pada masa pemerintahan Sultan Abdul Qadim tahun 1751 – 1773. Dandicantumkan terus menerus sampai pada masa pemerintahan cucunya Sultan Ismail,jadi secara faktual kontak diplomatik antara Bima dengan Aceh berlangsungintens selama ± 1 abad lamanya atau terhitung sejakpemakzulan diri Sultan Alauddin (1748)sampai pada masa berakhirnya pemerintahan Sultan Ismail tahun 1854. Setelahmasa itu, Kesultanan Bima mengalami periode yang rumit karena harus membenahibeberapa masalah klasik tentang penunjukkan Sultan. (?)

About Dzul Amirulhaq

Ketua PC GP Ansor Kota Bima

Diskusi

2 respons untuk ‘PENGARUH ACEH DALAM GELAR SULTAN-SULTAN BIMA

  1. Ah, kamu ini terlalu membesarkan sesuatu yang seharusnya di teliti lebih jauh. Kata Sjah sesungguhnya digunakan oleh setiap kesultanan yang notabene nya muslim karna kata syah diambil dari gelar sultan-sultan di timur tengah khususnya Persia atau Iran. Tanyakan kepada Laksamana Malahayati sampai dimana beliau berlayar ??? apakah hingga wilayah Timur Nusantara ?? Ternyata hanya mencapai selat Malaka trus darimana pengaruh ACEH di BIMA. Kalau hanya dengan berpatokan pada nama para sultan Bima yang bergelar Syah maka sebaiknya anda itu belajar sejarah lebih banyak lg.

    Posted by Meneer | 23 Oktober 2012, 17:59

Tinggalkan Balasan ke Meneer Batalkan balasan